Ibu, Maafkan Aku! Selama Ini Aku Egois Telah Membencimu



Aku hanyalah anak rantau yang jauh dari keluarga. Ya, termasuk jauh dari ibu.
Sosok yang selalu kontra denganku yang mengaturku bagai anak kecil sedang bermain di taman.

Satu bulan setelah lebaran Idul Adha adalah waktu yang sangat kutunggu-tunggu. Itulah kesempatanku bisa pergi ke salah satu kota di Indonesia di mana tidak ada saudara atau kerabatku di sana. Aku sangat senang karena akan jauh dari ibu, tidak ada yang mengaturku, tidak ada yang menyanggah semua pendapatku. Aku merasa sangat bebas. Dunia remajaku berjalan seperti teman-teman di SMA, namun aku baru merasakan kebebasan ketika berkuliah.

Untuk membiayai kehidupanku di sana kuputuskan untuk berkuliah sambil bekerja, kesana kemari mencari lowongan kerja. Dan alhamdulillah aku diterima sebagai barista di suatu tempat ngopi.

Suatu sore di pertengahan bulan suci  Ramadhan, aku termenung di depan jendela tempat aku bekerja. Karena di luar hujan deras, aku menunda untuk langsung pulang. Di seberang jalan, terdapat anak perempuan berusia remaja dan seorang ibunya yang berdiri sambil berteduh di depan toko kue.

Aku melihat dari kejauhan karena sikap anak perempuan itu sangat menarik perhatianku dengan perkataan dan perbuatannya. Tak lama kemudian, anak perempuan itu mendorong ibunya hingga jatuh. Aku yang ada di dalam langsung keluar menghampiri dan menolong ibu tersebut.

Kemudian kubawa masuk ke tempat ngopi ku bekerja karena waktu sudah menunjukkan waktu buka puasa. Lalu kutanya dan anak perempuan itu menjawabnya.

“Ibu gue nggak sayang sama gue, kak. Dia nggak mau beliin kue untuk acara sweet seventeen anaknya. Dia malah ceramahin panjang lebar. Lo nggak tahu sih kak rasanya punya ibu kayak dia,” jawabnya dengan penuh amarah.

Sebelum aku menanggapi jawabannya, ibu dari anak perempuan itu menjawab. “Ibu sayang sama kamu, Nak. Bukannya Ibu tidak mau membelikanmu kue. Tapi uang ibu pas-pasan, kan kamu tahu bagaimana kondisi kita saat ini setelah ayahmu pergi. Dan alasan kedua adalah ini Bulan Ramadan, tidak seharusnya kamu membuat party bersama temanmu. Asal kamu tahu, Ibu sudah memesankan tumpeng nasi kuning untuk nanti kita berbuka puasa. Ibu sedih, Nak," jawab Ibunya dengan penuh isak tangis.

Aku tidak bisa menjawab dan merespon masalah mereka. Aku malu dan langsung berkaca sendiri kepada diriku. Aku yang juga suka membantah, melawan, membuat ibuku menangis. Huft, dosanya diriku. Apalagi sejak awal Ramadan aku belum mengabari dan menanyakan kabar ibu di sana.

Sambil mereka menyelesaikan masalahnya, aku memesankan teh hangat. Tak lama kemudian, anak perempuan itu luluh dengan omongan ibunya. Ia meminta maaf dan malu. Ia juga meminta maaf dan memberikan ucapan terima kasih.
Rasanya lelah sekali hari itu. Pikiranku tertuju pada ibu di sana. Rinduku padanya menyelimuti malam itu.


Aku teringat semua tentang Ibu, apalagi di Bulan Ramadan ini.
Ibu yang membangunkanku sahur dengan sabarnya.
Ibu yang sudah memasak menu sahur dan berbuka. Aku? Mana mau membantunya?
Ibu yang selalu mengajakku membaca Al-Quran.
Ibu yang selalu mengajakku shalat. 

Tapi sudah pertengahan Ramadan ini aku belum merasakan itu semua.
Ibuku bukan sosok yang penyuruh tapi ia mengajak dan mencontohkan. Tapi malangnya ibuku mempunyai anak seperti diriku ini. Nada bicaraku yang selalu tinggi daripada ibu. Ibu tidak pernah marah kepadaku, ia selalu membalasnya dengan senyuman.

Ternyata aku sangat bersyukur mempunyai ibu seperti ibuku sendiri. Ia yang rela membanting tulang demi menghidupi aku dan adikku. Ibu bagaikan matahari yang menyinari dengan panasnya (caranya) tapi caranya tidaklah menyakitkan, hanya saja diri kita sendiri yang menganggapnya berlebihan. Rasanya ingin sekali mendengar suaranya, menanyakan kabarnya, dan tidur di pangkuannya.

Terima kasih kepada anak perempuan dan ibunya saat itu yang mengingatkanku akan ibuku yang jauh di sana. Kalian telah membawa hidayah di bulan yang berkah ini.
Malam itu aku bermuhasabah diri ditemani secangkir kopi. Secangkir kopi yang sangat pahit, tapi terasa sangat nikmat. Apalagi jika ditemani orang terkasih.

Sebaik atau sejelek ibu kalian, ia tetap ibu kalian.

Berbaktilah selagi ibu masih ada, masih ada di dekat kalian.
Ingatlah jika engkau berhasil dan sukses, itu karena doa ibumu telah didengar oleh-Nya.
Jangan lupa untuk membuatnya bahagia.


Salam,
Luthfiyyah Mufiidah

sumber : vemale.com