Delapan Kebohongan Ibu Yang Baru Aku Sadari Setelah Ia Tiada



Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bagian nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata, “Makanlah nak, aku tidak lapar!” – Kebohongan ibu yang pertama

Ketika aku tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya pergi memancing di untuk pertumbuhanku. Pulang memancing ibu memasak sup ikan segar dan mengundang selera. Waktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk di samping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang kumakan. Melihat ibu seperti itu, aku tersentuh, lalu dengan sendok kuberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata, “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan!” – Kebohongan ibu yang kedua
Sekarang aku sudah masuk sekolah menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi membawa sejumlah kotak korek api untuk ditempel dan uang hasil tempelannya dapat menutupi uang kebutuhan hidup kami. Di kala musim dingin tiba, aku bangun dari tempat tidur dan melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaan menempel kotak korek api. Aku berkata, “Ibu tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata, “Cepatlah tidur nak, ibu tidak lelah!” – Kebohongan ibu yang ketiga

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menungguku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi lonceng berbunyi menandakan ujian sudah selesai, Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri dengan peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata, “Minumlah nak, aku tidak haus!” – Kebohongan ibu yang keempat

Setelah meninggalnya ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaanya yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendirian. Kehidupan keluarga kamipun semakin susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang paman yang baik hari. Ia tinggal dekat rumahku. Ia membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga di sebelah rumah melihat kehidupan kami yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibuku yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasihat mereka. Ibu berkata, “Saya tidak butuh cinta!” – Kebohongan ibu yang kelima

Setelah aku, abangku dan kakakku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pensiun. Tetapi ibu tidak mau, ibu rela pergi ke pasar setiap pagi berjualan sedikit sayur untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima uang itu, malah mengirim balik uang tersebut dan berkata, “saya ada uang!” – Kebohongan ibu yang keenam

Setelah lulus kuliah, akupun melanjutkan sekolah master dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universitas ternama di Amerika berkat beasiswa di sebuah perusahaan swasta. Akhirnya akupun berkerja di perusahaan itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibuku yang baik hati ini tidak mau menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku, “Aku tak biasa tinggal di negara orang!” –Kebohongan ibu yang ketujuh

Setelah memasuki usia yang tua, ibu terkena kanker usus, harus dirawat di rumah sakit. Aku yang berada jauh di seberang Samudera Atlantik segera pulang menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu terbaring lemah di ranjangnya setelah operasi. Ibu kelihatan tua, ia menatapku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum di wajahnya yang terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menyerang ibuku, sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perih, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata, “Jangan menangis anakku, aku tidak sakit !” – Kebohongan ibu yang kedelapan

Setalah mengucap kebohongannya yang kedelapan, ibuku tercinta menutup mata untuk yang terakhir kalinya.

Note: Coba ingat, sudah berapa lama kita tidak menelepon ayah dan ibu kita? berapa lama kita tidak menghabiskan waktu untuk berbincang dengan ayah dan ibu kita? di tengah aktivitas yang padat ini kita selalu mempunyai beribu alasan untuk meninggalkan ayah dan ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita selalu lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya kita selalu risau akan kabar pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia di samping kita. Namun apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orang tua kita? risau apakah orang tua kita sudah makan atau belum? risau apakah orang tua kita bahagia atau tidak? apakah ini benar? kalau ya, coba renungkan kembali… di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orang tua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “menyesal” di kemudian hari.

sumber : http://kajianukhuwah.blogspot.co.id/